Nikmatnya Menjadi Orang Biasa

Menjadi orang terkenal, entah menteri, bintang-film atau presiden direktur adalah dambaan banyak manusia .    Dalam bingkai berpikir ini ,   mereka  yang  berharap – harap  ditelepon presiden untuk dijadikan menteri ,   dan  ternyata  tidak  berhasil ,   bisa  dimaklumi   kalau menyimpan banyak kekecewaan .    Demikian juga   perasaan  jutaan  insan  manusia yang berharap – harap  bisa  menjadi  terkenal ,   dan   ternyata  belum  kesampaian .

 Dilihat  dari  satu  sisi ,   tidak ada yang salah  dengan  dorongan  untuk  menjadi terkenal , sejauh itu   dilakukan   dengan  cara  yang  wajar   dan  diperuntukkan  demi  kepentingan kemanusiaan .

 Saya bahkan berpikir ,  banyak kemajuan  dalam  peradaban manusia  yang ikut didorong oleh  nafsu ingin terkenal .   Ibu Teresa  begitu terkenal  dengan  banyak  pengabdiannya .  Mahatma  Gandhi   dikenal  luas   sebagai   pejuang  kemanusiaan .     Bill  Gates  disebut sebagai   manusia  terkaya  karena  inovasi – nya .   Konosuke Matsushita   disebut  dewa manajemen  Jepang  melalui  karya – karyanya .

 Sebagaimana sering saya tuturkan di banyak seminar, dalam tubuh kita ada dua “burung” yang terus ber-komunikasi  yakni   burung ego   dan   burung kebijakan .

Burung ego ,  yang intinya mau memuaskan lobang-lobang dalam tubuh kita ( mata, telinga, hidung, mulut, dll. ) ,  meski menjadi sumber banyak persoalan ,  ia tidak senantiasa buruk . Banyak  prestasi  dan  kemajuan  yang  didorong   oleh  ego  .

 Burung  kebijakan   senantiasa  menjadi  penyeimbang ,   rem ,   menjaga  jarak   dan menjernihkan  penglihatan  .

 Kalau  di – analogi – kan  dengan  mobil ,   ego  adalah  gas .     Kebijakan   adalah   remnya .  Gas tanpa rem mudah sekali membuat kita masuk jurang .   Rem tanpa gas hanya membuat kita jalan di tempat .

 Dengan spirit ini, dorongan untuk menjadi manusia terkenal tentu bukan sesuatu yang hina.  Ia  adalah  salah-satu bentuk kicauan burung ego ,  yang tentunya  memerlukan pencerahan dari burung kebijakan.

 Dari perspektif burung kebijakan,  semua tempat , semua jabatan , semua situasi membawa kegembiraan .  Sayangnya , kegembiraan terakhir acap diselimuti  oleh  banyak keinginan .  Seorang supir  merasa  menjadi  manajer itu   enak .    Manajer  pikir  menjadi  direktur  itu mengasyikkan .   Direktur  merasa  bahagia  kalau  sudah  menjadi  presiden direktur .  Presiden direktur  menginginkan  agar  menjadi  pemilik perusahaan .  Pemilik perusahaan – kendati kekayaannya sudah triliunan — menilai prestasinya belum apa-apa .    Digabung menjadi satu ,  tidak sedikit manusia yang buta dan tuli kegembiraan semata-mata karena diselimuti oleh keinginan yang tebal .

 Saya memiliki seorang teman yang sudah naik mercedes new-eyes ,  sering  nraktir  saya main golf ,   dompet penuh dengan kartu kredit gold ,   bisa berlibur ke mana saja ,   punya sepasang putri yang cantik-cantik .   Tetapi ,   setiap kali ada di lapangan golf tidak pernah bisa teertawa lepas dan lebar .   Banyak pasangan mainnya  yang  hanya bermodal cekak , bisa tertawa dan bergembira .   Usut sana usut sini ,  ternyata ia memiliki banyak keinginan yang belum kesampaian .

 Bagi saya ,  surga itu ada di mana-mana .  Ia  ada  di terminal  yang  penuh  sesak  dengan bau keringat ,  di warung tegal yang penuh dengan seribu satu lalat ,  di  hotel berbintang , di gedung perkantoran yang mewah ,  atau di mana saja .   Persoalannya ,  ada orang yang menemukannya ,  ada  yang  tidak .     Beda  antara  keduanya  sangatlah  sederhana : selimut  keinginan .

 Saya  mengenal  beberapa orang yang terkenal .    Sebutlah  Dedi Gumelar ( Miing )  dan Wimar Witoelar .   Di layar TV kedua sahabat ini sering membuat saya terkagum-kagum .  Dedi membuat saya heran karena kecerdasan lawakannya .  Wimar membuat saya respek karena kejernihan pertanyaannya .   Akan tetapi, begitu ia ada di samping saya, ia hanyalah orang biasa.   Demikian juga  orang  yang  duduk  di  kursi  menteri ,  gubernur ,  presiden direktur .   Di  luar  panggung  publik ,   semua orang  adalah  manusia biasa .

 Saya  tidak  tahu  bagaimana  perasaan  Dedi  dan  Wimar .    Namun, saya tahu ada banyak sekali  orang  terkenal  yang  sebenarnya  menderita  oleh  banyak  ketakutan .    

Takut   kalau – kalau suatu saat  tidak menjabat lagi .   Takut  popularitas – nya  hilang .  Takut  bila kekayaannya lenyap .   Takut  ditodong  dan  dirampok .

 Dilihat dalam perspektif ini, menjadi orang biasa sebenarnya nikmat .   Di mana pun lapar , tinggal masuk ke tempat yang sesuai dengan isi kocek .   Siapa pun berkuasa ,  tidak perlu takut masuk penjara .   Naik apa pu pergi   mercy, bis-kota, maupun ojek     sama – sama sampai di tempat tujuan .   Berjalan di mana pun ,   tidak perlu takut karena tidak membawa barang berharga .    Nikmat  bukan  ?

 Coba perhatikan permukaan bumi ini .   Dibandingkan dengan puncak gunung yang tinggi, ada jauh lebih luas dan lebih banyak daratan yang ber-lokasi di bawah puncak .   

Lihatlah lautan yang luas. Gelombang tinggi hanya sepersekian saja dari luasnya samudera.  Ini  adalah  perlambang bahwa  alam – demikian juga kehidupan –  menghadirkan jauh lebih banyak hal rendah dan biasa, dibandingkan dengan hal tinggi yang luar biasa . 

Lebih dari itu ,  sesuatu yang menjulang kerap tidak tahan lama .   Jabatan ,  kekayaan , ketenaran  adalah  sebagian dari hal-hal yang tidak tahan lama .   Akan tetapi ,  seuatu yang biasa  dan  sederhana  akan  senantiasa  hadir  sepanjang  jam  masih  berputar . 

Siapa yang bisa memecat saya dari jabatan sebagai orang biasa ?

 Sebuah  pepatah  zen  menyebutkan :  “ Tidak terkenal  dan  tidak berkedudukan  adalah kebahagiaan yang paling luhur . ”     Mungkin benar ,   karena  kita  menggendong  sangat sedikit ketakutan tanpa kedudukan dan keterkenalan .   Di samping itu ,  kebersihan hati kita relatif kurang terganggu tanpa kehadiran kedudukan dan keterkenalan .

 Berbeda dengan makanan yang mengenal rasa kenyang    kedudukan  dan  keterkenalan  sulit sekali untuk disimpulkan cukup dan stop .   Ia  senantiasa  menuntut ,  menuntut  dan menuntut lebih .   Untuk itu ,  bagi mereka yang belum pernah punya kedudukan tinggi dan terkenal, minimnya tuntutan lebih ini, sebenarnya sebuah kekayaan yang mesti disyukuri .

 Itu bisa membantu membuka selimut keinginan kita, untuk kemudian menyadarkan bahwa semua tempat, jabatan, dan keadaan sebenarnya mengandung kegembiraan . 

Sebuah modal teramat berguna untuk menjadi manusia produktif .