Berbasa-basi Sejenak, Anthony de Mello

PERCAYA?
Pada hari berikutnya Sang Guru bercerita. Ada seorang
perampok yang menemukan sebuah pesan pada pintu besi yang
hendak dibobolnya:
“TOLONG, JANGAN MENGGUNAKAN DINAMIT. PINTU BESI INI TIDAK
DIKUNCI. PENCET SAJA TOMBOLNYA.”
Ketika ia memencet tombol itu, sekarung pasir jatuh
menimpanya. Seketika tempat itu jadi terang benderang dan
suara sirene membangunkan seluruh tetangga.
Ketika Sang Guru mengunjungi orang itu di penjara, ia
sungguh memelas: “Bagaimana saya akan dapat mempercayai
orang lain lagi?”

CUCI PIRING
Ketika seorang tamu dengan sukarela mau mencuci piring, Sang
Guru berkata, “Apakah Anda yakin bahwa Anda mengetahui
bagaimana mencuci piring?”
Orang itu berkata bahwa ia telah melakukannya selama
hidupnya. Kata Sang Guru, “O… saya tidak meragukan
kemampuan Anda membuat piring-piring itu bersih. Saya hanya
meragukan kemampuan Anda mencuci piring-piring itu.”
Inilah penjelasan yang ia berikan kepada para muridnya
kemudian. “Ada dua cara mencuci piring. Pertama, mencuci
untuk membuat piring-piring itu bersih; kedua, mencuci untuk
mencuci saja.”
Keterangan itu masih belum begitu jelas. Maka ia
menambahkan: “Tindakan pertama itu mati karena sementara
badanmu mencuci, pikiranmu terpaku pada tujuan membersihkan
piring-piring itu. Yang kedua itu hidup karena dimana
pikiranmu ada, di situ tubuhmu berada.”

PENCERAHAN
“Pencerahan,” kata Sang Guru, “berarti mengetahui secara
persis di mana kamu berada setiap saat. Itu bukan tugas yang
mudah sama sekali.”

Lalu ia menceritakan tentang seorang temannya yang terkenal,
yang bahkan dalam umurnya yang sudah mencapai 80-an ditawari
banyak jabatan. Suatu ketika ia kelihatan di suatu pesta dan
ditanya berapa banyak pesta yang harus dihadirinya pada
malam itu.
“Enam,” kata bapak tua itu tanpa melepaskan matanya dari
buku agendanya.
“Apa yang sedang Anda lakukan? Melihat jadwal ke mana Anda
harus pergi lagi?” tanya mereka.
“Tidak,” katanya, justru saya ingin tahu di mana saya berada
sekarang. “

IDEOLOGI
Sang Guru alergi terhadap ideologi.
“Dalam sebuah perang ide-ide,” katanya, “rakyatlah yang
menjadi korban.”
Kemudian ia menambahkan, “Orang membunuh demi uang atau
kuasa. Tetapi pembunuh yang paling bengis adalah mereka yang
membunuh demi ide-ide mereka.”

MENEMUKAN ALLAH
Waktu itu waktu ceramah. Sang Guru berkata, “Kehebatan
seorang komponis diketahui lewat nada-nada musiknya, tetapi
menganalisis nada-nada saja tidak akan mengungkapkan
kehebatannya. Keagungan penyair termuat dalam kata-katanya,
namun mempelajari kata-katanya tidak akan mengungkapkan
inspirasi. Tuhan mewahyukan diri-Nya dalam ciptaan, tetapi
dengan meneliti ciptaan secermat apa pun kamu tidak akan
menemukan Allah; demikian juga bila kamu ingin menemukan
jiwa melalui pemeriksaan cermat terhadap tubuhmu.”
Pada waktu tanya jawab, seseorang bertanya, “Kalau begitu,
bagaimana kami akan menemukan Allah?”

“Dengan melihat ciptaan, tapi bukan dengan menganalisisnya.”

“Dan bagaimana seseorang harus melihat?”

“Seorang petani keluar untuk melihat keindahan pada waktu
matahari terbenam, tetapi yang ia saksikan hanyalah
matahari, awan, langit, dan cakrawala – sampai ia memahami
bahwa keindahan bukan ‘sesuatu,’ melainkan cara khusus
melihat.

Kamu akan sia-sia mencari Allah sampai kamu memahami bahwa Allah tidak bisa dilihat sebagai sesuatu. Yang diperlukan
ialah cara khusus untuk melihat – mirip seperti cara seorang
anak kecil yang pandangannya tidak diganggu oleh pelbagai
ajaran dan keyakinan yang telah dibentuk sebelumnya.”

DI RUANG CERAMAH
Ayah seorang murid merasa geram dan memasuki ruang ceramah.
Di situ Sang Guru sedang berbicara.

Tanpa peduli akan setiap orang yang hadir, sang bapak
berkata kepada anak perempuannya, “Kamu telah menyia-nyiakan
karier universitas hanya untuk duduk di kaki orang tolol
ini! Apa memangnya yang telah ia ajarkan kepadamu?”

Si anak berdiri; dengan tenang ia mengajak keluar ayahnya
dan berkata, “Berada bersama dia telah mengajari saya apa
yang tidak dapat didapatkan di universitas – yaitu untuk
tidak takut pada Ayah dan tidak merasa malu atas tingkah
laku Ayah yang jelek.”

APAKAH ITU?
“Apa yang diperlukan agar seseorang mendapatkan pencerahan?”
tanya para murid.

Kata Sang Guru, “Kamu harus menemukan apa itu yang jatuh
dalam air dan tidak menimbulkan riak; menerobos pepohonan
dan tidak menimbulkan suara memasuki kebun dan tidak
menggoyangkan seujung rumput pun.”

Setelah berminggu-minggu direnungkan tanpa hasil, para murid
berkata, “Apakah sesuatu itu?”

“Sesuatu?” kata Sang Guru. “Tetapi itu bukan sesuatu sama
sekali.”

“Kalau begitu, bukan apa-apa?”

“Bisa dikatakan demikian.”

“Lalu bagaimana kami harus mencarinya?”

“Apakah saya menyuruhmu mencarinya? Itu dapat ditemukan,
tetapi jangan pernah dicari. Carilah dan kamu akan
kehilangan.”

SEDIKIT AKAN SEGALA
Sang Guru mendengar seorang aktris asyik berdiskusi tentang
ramalan bintang pada waktu makan malam.

Ia mendekatinya dan berkata, “Kamu tidak percaya pada
astrologi, bukan?”

“Oh,” jawab perempuan itu, “saya percaya sedikit akan segala
sesuatu.”

KEBERUNTUNGAN
Ada orang yang bertanya kepada Sang Guru, apakah Sang Guru
percaya pada keberuntungan.

“Tentu,” jawab Sang Guru sambil mengerdipkan matanya.
“Dengan cara apa lagi kita dapat menjelaskan keberhasilan
orang lain yang tidak kita senangi?”

DISAKITI
Sang Guru tidak suka akan orang-orang yang terus-menerus
larut dalam kesedihan atau kemarahan.

“Disakiti itu tidak jadi masalah jika kamu tidak memaksa
mengingatnya,” katanya.

PEMERKOSA
Pada suatu saat Sang Guru bercerita tentang seorang wanita
yang melaporkan kepada polisi bahwa ia telah diperkosa.

“Gambarkanlah laki-laki itu,” kata petugas.

“Ya, pertama-tama, ia adalah seorang idiot.”

“Seorang idiot?”

“Ya. Ia tidak tahu apa-apa sehingga saya harus membantunya!”

Pernyataan itu kurang lucu maka Sang Guru menambahkan,
“Ketika kamu disakiti, cermatilah bagaimana kamu menolong
orang yang menyakiti itu.”

Pernyataannya diprotes banyak orang. Maka ia menambahkan,
“Dapatkah seseorang menyakitimu jika kamu menolak untuk
disakiti?”

KITAB SUCI
Ketika ditanya bagaimana Kitab Suci seharusnya digunakan,
Sang Guru menceritakan pengalaman waktu ia menjadi guru di
sebuah sekolah dan melontarkan pertanyaan ini kepada para
murid, “Bagaimana kamu menentukan tinggi sebuah bangunan
dengan menggunakan alat barometer?”

Salah seorang anak yang cerdas menjawab,

Saya akan menurunkan barometer dengan tali dan kemudian
mengukur panjang tali itu.”

“Banyak akal dalam ketidaktahuannya,” komentar Sang Guru.

Kemudian ia menambahkan, “Begitulah akal dan ketidaktahuan
orang-orang yang menggunakan otak mereka untuk memahami
Kitab Suci, sama dengan mereka yang mencoba memahami
matahari terbenam atau samudra atau desiran angin malam di
pepohonan dengan menggunakan otak mereka.”

EMOSI NEGATIF
“Orang tidak ingin membuang rasa iri hati, rasa cemas, rasa
marah, dan rasa salah karena emosi-emosi negatif itu
memberikan kepada mereka sensasi, perasaan sungguh-sungguh
hidup,” kata Sang Guru.

Dan beginilah ia memberikan ilustrasi.

Seorang tukang pos mengambil jalan pintas melalui rerumputan
dengan naik sepedanya. Sampai di tengah, seekor sapi jantan
melihatnya dan mengejarnya. Orang yang malang itu hampir
saja kena tanduk.

“Nyaris kena, ya?” kata Sang Guru yang menyaksikan peristiwa
itu.

“Ya,” kata orang tua itu terengah-engah. “selalu begitulah
selama ini.”

TANPA KONSEP
Seorang ilmuwan memprotes Sang Guru yang dinilainya telah
bersikap tidak adil terhadap ilmu pengetahuan. Menurutnya,
Sang Guru melecehkan “konsep” dan mempertentangkannya dengan
“pengetahuan-tanpa-konsep”.

Sang Guru dengan susah payah menjelaskan bahwa ia tak
bermaksud memusuhi ilmu. “Tetapi,” katanya, “pengetahuanmu
mengenai istrimu sebaiknya melampaui pengetahuan-konsep
ilmiah.”

Ketika berbicara kepada para muridnya, ia bahkan lebih tajam
lagi. “Konsep-konsep membatasi,” katanya. “Membatasi berarti
merusak. Konsep-konsep itu membedah kenyataan. Dan apa yang
kamu bedah itu kamu bunuh.”

“Apakah lalu konsep-konsep menjadi tak berarti?”

“Tidak. Bedahlah bunga mawar dan kamu akan mempunyai
informasi yang berharga – meski bukan pengetahuan – tentang
bunga itu. Jadilah seorang ahli dan kamu akan memiliki
banyak informasi – tetapi bukan pengetahuan – tentang
Kenyataan.”

SIMBOL
Sang Guru menyatakan bahwa dunia yang dilihat oleh
kebanyakan orang bukan dunia Kenyataan, melainkan dunia yang
diciptakan oleh pikiran mereka.

Ketika seorang ahli datang untuk berdebat soal itu, Sang
Guru meletakkan dua batang korek api di atas lantai dalam
bentuk huruf T dan bertanya, “Apa yang kamu lihat di sini?”

“Huruf T,” jawab ahli itu.

“Persis seperti yang saya pikirkan,” kata Sang Guru. “Tak
ada huruf T; itu hanyalah sebuah simbol di kepalamu. Apa
yang kamu lihat di sini adalah dua potong kayu berbentuk
batang. “

MEMBACA KITAB SUCI
“Ketika kamu berbicara mengenai Kenyataan,” kata Sang Guru,
“kamu mencoba untuk mengungkapkan sesuatu Yang Tidak Dapat
Terungkapkan kedalam kata-kata sehingga kata-katamu tentu
akan gagal dipahami. Demikianlah, orang yang membaca
ungkapan Kenyataan yang disebut Kitab Suci itu, menjadi
bodoh dan kejam karena mereka mengikuti, bukan akal sehat
mereka, tetapi apa yang mereka pikir dikatakan oleh Kitab
Suci.”

Sang Guru mempunyai perumpamaan yang sangat bagus untuk
menggambarkannya.

Seorang pandai besi didatangi seorang magang yang bersedia
bekerja keras dengan upah rendah. Ia pun memberikan perintah
pada orang muda itu, “Saya akan mengeluarkan logam dari
tungku, lalu meletakkannya pada landasan; dan jika saya
mengangguk, tempalah dengan palu.” Magang itu melakukan
persis apa yang menurutnya diperintahkan oleh si pandai
besi. Di kemudian hari dialah yang menjadi pandai besi desa
itu.”

KESALAHAN
Kepada seorang murid yang takut membuat kesalahan Sang Guru
berkata,

“Mereka yang tidak membuat satu kesalahan pun justru membuat
kesalahan paling besar: mereka tidak mencoba sesuatu yang
baru.”

APAKAH ALLAH ADA?
“Katakan kepada saya,” kata seorang ateis, “apakah Allah itu
sungguh-sungguh ada?”

Jawab Sang Guru, “Jika kamu menginginkan saya
sungguh-sungguh jujur, saya tidak akan menjawab.”

Para murid penasaran mengapa ia tidak menjawab.

“Karena pertanyaannya tidak dapat dijawab,” kata Sang Guru.

“Jadi, Guru juga ateis?”

“Tentu saja tidak. Orang ateis membuat kesalahan karena
menyangkal kenyataan yang tidak mungkin dijelaskan.”

Setelah diam sejenak, ia menambahkan, “Dan orang teis
membuat kesalahan karena mencoba menjelaskannya.”

RAHASIA KETENTERAMAN
“Apa rahasia ketenteramanmu?”

Kata Sang Guru, “Bekerja sama sepenuh hati dengan
yang-tidak-dapat-terhindarkan.”

PENGEMIS BUTA
Sang Guru dan seorang murid mendatangi seorang buta yang
duduk di pinggir jalan sambil meminta-minta.

Kata Sang Guru, “Berilah orang itu derma.” Murid itu
meletakkan uang logam ke dalam topi sang pengemis.

Kata Sang Guru, “Kamu tadi seharusnya membuka topimu sebagai
tanda hormat.”

“Mengapa?” tanya murid itu.

“Setiap orang harus melakukan itu ketika memberikan derma.”

Tetapi orang itu kan buta?

Siapa bilang? kata Sang Guru mungkin saja ia menipu.”

PENDERMA
Pertapaan itu kedatangan banyak orang sehingga perlu
didirikan bangunan tambahan. Seorang pedagang mengeluarkan
cek sejuta dolar dan meletakkannya di hadapan Sang Guru.
Sang Guru mengambilnya dan berkata, “Baik. Saya
menerimanya.”

Pedagang itu kecewa. Yang diberikannya adalah sejumlah besar
uang dan Sang Guru tidak mengucapkan terima kasih kepadanya.

“Ada sejuta dolar dalam cek itu,” katanya.

“Ya, saya melihatnya.”

“Bahkan meskipun saya adalah seorang yang kaya raya, sejuta
dolar adalah uang yang besar.”

“Apakah Anda ingin agar saya mengucapkan terima kasih?”

“Sudah seharusnyalah.”

“Mengapa harus? Pemberilah yang seharusnya berterima kasih,”
kata Sang Guru.

SISI LUAR
Gagasan bahwa segala sesuatu di dunia ini sempurna tidak
dapat dipahami oleh para murid.

Maka Sang Guru menerangkannya dengan lebih sederhana: “Allah
merajut rancangan-Nya yang sempurna dengan benang-benang
hidup kita,” katanya, “bahkan dengan dosa-dosa kita. Kita
tak dapat melihat itu karena kita hanya mengamati sisi luar
kain rajutan itu.”

Dan, secara lebih ringkas, “Apa yang oleh beberapa orang
dilihat sebagai batu mengkilap, oleh ahli permata disebut
sebagai berlian.”

BENAR
Para murid merasa tersinggung karena melihat ajaran-ajaran
Sang Guru dijadikan bahan tertawaan dalam sebuah majalah
nasional.

Sang Guru tidak terganggu sama sekali. “Apakah sesuatu
menjadi sungguh-sungguh benar,” katanya, “jika tak seorang
pun menertawakannya?”

TIDAK BAHAGIA
Sang Guru mengajar, satu alasan yang membuat orang tidak
bahagia adalah karena mereka berpikir bahwa tidak ada
sesuatu pun yang tidak dapat mereka ubah.

Untuk itu ia suka menuturkan cerita tentang seorang pembeli
yang mengatakan kepada pemilik toko, “Radio transistor yang
kamu jual kepada saya itu kualitas suaranya istimewa, tetapi
saya ingin menukarkannya dengan radio yang program acaranya
lebih baik.”

KONSISTENSI ATAU KEBENARAN
Pada masa mudanya Sang Guru pernah menjadi aktivis politik
dan memimpin gerakan demonstrasi melawan pemerintah.

Beribu-ribu orang meninggalkan rumah dan pekerjaan mereka
untuk menggabungkan diri. Ketika mereka baru hendak mulai,
tiba-tiba saja Sang Guru menghentikan semuanya.

“Apa-apaan ini?! Gerakan ini telah direncanakan
berbulan-bulan dan telah menghabiskan uang rakyat. Mereka
akan menuduh kamu tidak konsisten,” bentak para pengikutnya
yang marah.

Sang Guru tidak bergeming. “Komitmen saya bukanlah pada
konsistensi,” katanya, “melainkan pada Kebenaran.”

KEDAMAIAN
“Apa yang kamu cari?”

“Kedamaian,” jawab seorang tamu.

Bagi orang-orang yang mencari perlindungan bagi ego mereka,
kedamaian sejati hanya akan mengakibatkan gangguan.”

Lalu, kepada kelompok religius yang datang untuk menengok
dan meminta berkat, ia berkata dengan senyuman nakal,

“Semoga damai Allah mengganggu kamu selalu!.”

PERUMPAMAAN HIDUP
Sepulang dari perjalanan, Sang Guru menceritakan salah satu
pengalamannya yang menurutnya merupakan perumpamaan mengenai
hidup.

Pada waktu istirahat pendek, ia berjalan ke warung makan
yang kelihatan apik. Ada sup lezat, gulai panas, dan semua
jenis hidangan yang serba menggoda selera.

Ia memesan sup.

“Anda penumpang bus?” tanya sang pelayan dengan nada
keibuan. Sang Guru mengangguk.

“Tidak ada sup.”

“Kalau gulai nasi panas?” tanya Sang Guru dengan rasa heran.

“Juga tidak, karena Anda penumpang bus! Anda sebaiknya
membeli roti saja. Seluruh pagi saya habiskan guna
mempersiapkannya, dan Anda bisa menyantapnya dalam waktu
tidak lebih dari 10 menit. Saya tidak akan mempersiapkan
makanan yang tidak dapat Anda nikmati dengan waktu yang Anda
miliki.”

SELARAS DENGAN ALAM
Selalu tumbuh sukacita ketika memandang Sang Guru melakukan
tindakan sederhana: duduk atau berjalan atau minum secangkir
teh atau mengibaskan seekor lalat. Ada pesona dalam semua
hal yang ia kerjakan yang membuatnya tampak selaras dengan
Alam, seolah-olah tindakan-tindakannya bukan dihasilkan
olehnya, tetapi oleh Alam Semesta.

Pada suatu ketika ia menerima sebuah bingkisan. Para murid
terkagum-kagum memperhatikan dia melepas ikatan, membuka
bungkus, dan mengeluarkan isinya seolah-olah bingkisan itu
adalah makhluk hidup.

PENGAKUAN DOSA
Seorang rohaniwati bercerita kepada Sang Guru, ia baru saja
mengaku dosa pada pagi itu.

“Saya tidak dapat membayangkan bahwa kamu melakukan dosa
berat,” kata Sang Guru. “Apa yang tadi kamu akukan?”

“Yah, saya pernah malas pergi ke Misa pada suatu hari Minggu
dan saya pernah menyumpahi tukang kebun. Pernah juga saya
mengusir ibu mertua saya selama satu minggu.”

“Tetapi bukankah itu terjadi lima tahun yang lalu? Tentunya
kamu sudah pernah mengakukannya.”

“Ya. Tetapi saya selalu mengakukannya setiap kali. Saya
memang suka mengingat-ingatnya.”

METODE
“Saya telah hidup bersama Anda selama empat bulan tapi Anda
belum memberikan metode atau teknik apa pun.”

“Metode?” kata Sang Guru. “Untuk apa kamu menginginkan
metode?”

“Untuk mencapai kebebasan batin.”

Sang Guru serta-merta tergelak-gelak. “Kamu harus sangat,
sangat terampil agar bisa mencapai kebebasan dengan
menggunakan perangkap yang disebut metode itu,” katanya.

KETINGGALAN ZAMAN?
Ketika seorang murid mengeluh bahwa spiritualitas Sang Guru
perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman, Sang Guru
tertawa keras-keras. Kemudian ia menceritakan kisah seorang
pelajar yang mengatakan kepada seorang penjual buku, “Tidak
ada buku anatomi yang lebih baru? Buku-buku yang ada di sini
sudah berumur 10 tahun atau lebih!”

Kata penjual buku, “Dengarlah, Nak. Tidak ada penambahan
tulang apa pun dalam tubuh manusia selama 10 tahun terakhir
ini.”

“Demikian pula halnya,” sambung Sang Guru, “tidak ada
penambahan apa pun dalam kodrat manusia selama 10.000 tahun
terakhir ini.”

MAHAKARYA
Kepada seorang pelukis Sang Guru berkata, “Agar dapat
berhasil, setiap pelukis harus menggunakan waktu berjam-jam
dalam usaha dan kerja keras tanpa henti.”

“Beberapa orang berhasil mengesampingkan ego. Ketika itu
terjadi, sebuah mahakarya pun lahir.”

Lalu, seorang murid bertanya, “Siapa yang bisa disebut
seorang Mahaguru?”

Sang Guru menjawab, “Siapa saja yang mengesampingkan egonya.
Hidup orang itu adalah sebuah mahakarya.”

DIMANA KEBENARAN?
Sang Guru selalu mengajarkan bahwa Kebenaran itu ada di
depan mata kita dan alasan kita tidak melihatnya adalah
miskinnya perspektif.

Pada suatu hari ia mengajak seorang murid naik gunung.
Ketika mereka berada pada pertengahan jalan, sang murid
memandang semak belukar dan mengeluh, “Manakah pemandangan
indah yang selalu Guru ceritakan itu?”

Sang Guru menjawab “Kamu sedang berdiri di atasnya, seperti
yang akan kamu lihat bila kita sampai di puncak.”

KATA-KATA
Jarang Sang Guru begitu mengesankan seperti saat ia
memperingatkan akan daya sihir kata-kata.

“Hati-hatilah pada kata-kata,” katanya. “Saat kamu kurang
waspada, kata-kata itu akan menampakkan wujud aslinya,
kata-kata itu akan memesonakan, memikat, menteror, membuat
kamu tersesat dari kenyataan yang mereka wakili, membuat
kamu mempercayai bahwa kata-kata itulah yang nyata.”

“Dunia yang kamu lihat bukanlah Kerajaan seperti yang
dilihat anak-anak, melainkan dunia yang terpecah-pecah,
terpecah ke dalam beribu-ribu kepingan oleh kata ….
Kenyataan itu seolah-olah seperti riak gelombang samudra
yang kelihatan berbeda dan terpisah dari seluruh samudra.”

“Ketika kata-kata dan pikiran diheningkan, Alam Semesta
berkembang – nyata, menyeluruh, dan satu dan kata-kata
tampil sebagaimana mestinya, sebagai not – bukan musik,
sebagai menu- bukan makanan, sebagai penunjuk arah – bukan
tujuan perjalanan.”

OMONG KOSONG
Ketika Sang Guru berbicara tentang daya hipnotis kata-kata,
seseorang dari bagian belakang berteriak, “Anda omong
kosong! Jika saya mengatakan Allah, Allah, Allah, apakah itu
akan membuat saya ilahi? Dan jika saya mengatakan dosa,
dosa, dosa, apakah itu akan membuat saya jahat?”

“Duduk, bajingan!” kata Sang Guru.

Kontan saja, orang itu segera naik pitam. Mukanya merah
padam. Ia terdiam sesaat, lalu dengan suara serak ia
ungkapkan rasa tersinggung dan sakit hatinya.

Sang Guru kelihatan menyesal sekali dan kemudian berkata,
“Maafkan saya, Tuan, saya memang khilaf. Saya
sungguh-sungguh minta maaf atas kelancangan yang tidak
termaafkan itu.”

Orang itu segera menjadi tenang.

“Nah, kini kamu tahu jawabnya. Satu kata membuat kamu naik
pitam dan yang lainnya menenangkan kamu,” kata Sang Guru.

KEBIJAKSANAAN
Gubernur mengundurkan diri dari jabatan tingginya dan datang
kepada Sang Guru, minta diajar.

“Ajaran apa yang Saudara inginkan dari saya?” tanya Sang
Guru.

“Kebijaksanaan,” jawabnya.

“Ah, Sahabatku! Betapa senangnya saya mengajarkan itu kalau
saja tidak ada satu rintangan besar.”

“Apa?”

“Kebijaksanaan tidak dapat diajarkan.”

“Kalau begitu, tak ada sesuatu pun yang dapat saya pelajari di sini.”

“Kebijaksanaan dapat dipelajari, tetapi tidak dapat diajarkan.”

REKAMAN
Beberapa murid sedang berwisata naik gunung bersalju. Di
mana-mana hening. Mereka ingin tahu kalau-kalau ada suara-suara pada malam hari. Mereka memencet tombol RECORD
pada tape-recorder, meninggalkannya di muka tenda mereka dan pergi tidur.

Setibanya di pertapaan, mereka memutar kembali tape itu.
Tidak ada suara sama sekali, sunyi semata.

Sang Guru, yang turut mendengarkan tape itu, menyela,
“Apakah kamu tidak mendengarnya?”

“Mendengar apa?”

“Harmoni semesta galaksi yang sedang bergerak,” kata Sang
Guru.

Para murid saling berpandangan, takjub.

KELEKATAN DAN PERSEPSI
Kelekatan mengganggu persepsi kita, itulah tema yang kerap
kali muncul dalam perbincangan Sang Guru.

Para murid mendapatkan contoh yang sempurna ketika mereka
mendengar Sang Guru bertanya kepada seorang ibu, “Bagaimana
keadaaan anak perempuan Ibu?”

“O, putriku tersayang? Betapa beruntungnya dia! Dia
mempunyai suami yang hebat, yang memberinya sebuah mobil,
intan permata, dan pelayan-pelayan yang melayaninya. Sang
suami melayani makan pagi di tempat tidur dan anakku bisa
tidur bermalas-malasan sampai siang. Betapa hebat pria itu!”

“Dan kabar anak laki-lakimu?”

“Ah, betapa malang anak itu setelah menikah. Ia memberikan
mobil kepada istrinya, juga semua permata yang diinginkan
istrinya serta sejumlah pelayan untuk melayaninya. Dan
istrinya tetap tinggal di atas tempat tidur sampai siang!
Bahkan ia tidak mau bangun untuk menyediakan makan pagi bagi
suaminya.”

AKSI BUNUH DIRI
Ada berita menghebohkan tentang seorang pria rohaniwan yang
telah meninggal dalam sebuah aksi bunuh diri.

Sementara tak seorang pun dalam pertapaan setuju dengan
tindakan rohaniwan itu, beberapa mengatakan bahwa mereka
mengagumi imannya.

“Iman?” kata Sang Guru.

“Ya, bukankah ia memiliki keberanian berdasarkan
keyakinannya?”

“Itu fanatisme, bukan iman. Iman menuntut keberanian yang
lebih besar: untuk menguji kembali keyakinan-keyakinan
seseorang dan menolak keyakinan-keyakinan itu jika tidak
sesuai dengan kenyataan.”

POHON CEDAR
Ketika Sang Guru mendengar bahwa hutan cedar sebelah telah
terbakar, ia mengerahkan seluruh muridnya. “Kita harus
menanam kembali pohon-pohon cedar,” katanya.

“Pohon cedar?” teriak murid tidak percaya. “Tapi pohon-pohon
itu membutuhkan waktu 2.000 tahun untuk tumbuh besar!”

“Oleh sebab itulah,” kata Sang Guru, “tak boleh ada satu
menit pun terbuang. Kita harus segera mulai.”

NAFKAH
Seorang teman berkata kepada seorang mahasiswa, “Untuk apa
kamu pergi kepada Sang Guru? Apakah ia akan membantu kamu
untuk mendapatkan nafkah?”

“Tidak, tetapi karena beliau saya akan mengetahui apa yang
harus saya lakukan dengan nafkah itu saat saya
mendapatkannya,” jawabnya.

DALAM KITAB
“Pembimbing rohanimu sama buta dan bingungnya dengan kamu,”
kata Sang Guru. “Jika menghadapi permasalahan hidup, segera
mereka mencoba mencari jawabnya dari dalam Kitab. Padahal,
hidup itu terlalu besar untuk dicocokkan dengan kitab mana
pun.”

Untuk melukiskan hal itu, ia bercerita mengenai seorang
penjahat yang berkata, “Angkat tangan! Berikan uangmu atau
kalau tidak…”

“Kalau tidak, apa?”

“Sudahlah, jangan banyak bertanya dan membuat saya bingung!
Saya baru pertama kali ini merampok.”

KEJAHATAN
“Bagaimana Sang Guru menjelaskan kejahatan di dunia ini?”
tanya seorang tamu.

Salah satu murid menjawab, “Ia tidak menjelaskannya. Ia
terlalu sibuk untuk mengurusi hal itu.”

Kata yang lain, “Orang-orang senantiasa berjuang melawan
dunia atau menjadi jemu dengannya. Sang Guru selalu terpikat
dengan apa yang ia lihat, semuanya mengagumkan, hebat, dan
tidak dapat diduga.”

PENGKHOTBAH
Pengkhotbah itu dipuji karena khotbahnya yang memikat.
Tetapi ia mengakui kepada teman-temannya bahwa khotbahnya
yang memikat itu tidak pernah berdampak seperti kata-kata
Sang Guru yang sederhana.

Setelah hidup bersama dengan Sang Guru selama seminggu, kini
ia mengetahui dengan tepat alasannya.

“Ketika ia berbicara,” kata pengkhotbah itu, “bicaranya
bermuatan keheningan, sedangkan bicaraku bermuatan
pemikiran.”

BEJANA TANAH
Sang Guru bisa dikatakan sangat menghormati tubuh manusia.
Ketika seorang murid mengatakan bahwa tubuh manusia itu
“bejana tanah liat,” Sang Guru mengutip puisi Kabir:

“Dalam bejana tanah liat ini ada tebing-tebing dan
gunung-gunung Himalaya; tujuh samudra ada di sini, dan
berjuta-juta galaksi; dan musik segala penjuru, dan sumber
air terjun, dan sungai-sungai.”

TUJUAN PENDIDIKAN
Ketika Sang Guru berjumpa dengan sekelompok guru sekolah, ia
berbicara banyak dan bersemangat karena ia sendiri pernah
menjadi seorang guru. Persoalan yang dimiliki para guru,
katanya, adalah bahwa mereka melupakan tujuan pendidikan:
bukan belajar, melainkan hidup.

Ia menceritakan saat ia melihat seorang pemuda yang sedang
memancing di sungai.

“Halo! Hari yang bagus untuk memancing?” katanya kepada
pemuda itu.

“Ya,” jawab si pemuda.

Setelah beberapa saat, Sang Guru berkata, “Mengapa kamu
tidak pergi ke sekolah hari ini?”

“Seperti yang Guru katakan, karena hari ini bagus untuk
memancing. “

Dan ia menceritakan tentang rapor anak perempuannya “Nina
nilainya baik di sekolah. Ia akan jauh lebih baik jika
kegembiraan hidup yang murni tidak menghambat kemajuannya.”

BURUNG BERKICAU
Sang Guru suka menunjukkan bagaimana alam bermandikan
kekudusan. Suatu ketika ia duduk di taman dan berseru,

“Lihatlah burung berwarna biru cerah yang bertengger di atas
cabang pohon itu. Ia meloncat ke atas dan ke bawah, naik dan
turun, mengisi dunia dengan kicaunya, membiarkan dirinya
terbuka pada kegembiraan, sebab tidak terpikirkan olehnya
mengenai hari esok.”

PERJALANAN
Seseorang bertanya kepada Sang Guru mengenai makna ungkapan
“Orang yang telah mendapat pencerahan melakukan perjalanan
tanpa gerakan.”

Kata Sang Guru, “Duduklah di depan jendelamu setiap hari dan
amatilah pemandangan yang senantiasa berubah sementara bumi
membawa kamu melalui perjalanan tahunannya mengelilingi
matahari.”

BAHASA ILAHI
Sewaktu mendengar Sang Guru mengidungkan ayat-ayat Sanskrit
dengan merdu, seorang ahli bahasa Sanskrit sangat terpikat.
Lalu ia berkata, “Saya mengetahui bahwa tak ada bahasa di
bumi ini seindah bahasa Sanskrit untuk mengungkapkan hal-hal
yang ilahi.”

“Jangan bodoh,” kata Sang Guru. “Bahasa yang ilahi bukan
Sanskrit. Bahasanya adalah Keheningan.”

MENCELA DIRI
Sang Guru merasa geli atas jenis pencelaan diri palsu yang
dimaksudkan sebagai kerendahan hati. Ia menceritakan
perumpamaan ini kepada para murid:

Dua orang pergi ke sebuah gereja untuk berdoa. Mereka itu
seorang imam dan seorang koster. Imam itu mulai menepuk dada
dan memohon, “Tuhan, saya adalah orang yang paling rendah.
Saya tidak pantas menerima rahmat-Mu! Saya hampa, bukan
apa-apa, kasihanilah saya.”

Tidak jauh dari imam itu sang koster juga menepuk dada dan
memohon, “Kasihanilah saya, ya Tuhan. Saya adalah seorang
pendosa, bukan apa-apa.”

Imam itu menoleh dengan angkuh. “Ha!” katanya. “Lihat siapa
itu yang berani-beraninya menyatakan dirinya bukan apa-apa!”

PENGARUH SPIRITUALITAS
“Sebutkan satu pengaruh praktis dan nyata dari
spiritualitas,” kata seorang skeptis yang siap berdebat.

“Salah satunya ialah,” kata Sang Guru, “ketika seseorang
menyerang kamu, kamu dapat membangkitkan rohmu ke ketinggian
yang tidak dapat dicapai oleh serangan mana pun.”

DEMI KEBENARAN
“Hanya orang bodohlah yang ragu-ragu untuk menyerahkan
segala sesuatu demi Kebenaran,” kata Sang Guru.

Dan ia menceritakan perumpamaan berikut kepada mereka

Ketika ditemukan minyak di suatu kota kecil, para pemilik
tanah dengan senang hati menjual setiap petak tanah mereka
kepada Perusahaan Minyak demi keberuntungan.

Seorang nenek tua menolak menjual tanahnya, berapa pun
harganya.

Tawaran mencapai angka sangat tinggi, sampai satu Perusahaan
Minyak menyatakan bahwa perusahaannya siap untuk memberikan
harga berapa pun yang diminta oleh nenek tua itu. Namun, si
nenek tetap bersiteguh. Oleh karena itu, seorang teman
bertanya mengapa. Kata nenek tua itu, “Tidakkah kamu lihat:
jika saya menjualnya, saya akan kehilangan satu-satunya
sumber pendapatan saya?”

KAYA NAMUN MALANG
“Saya kaya, namun malang. Mengapa?”

“Karena kamu menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mencari
uang dan terlalu sedikit untuk bercinta,” kata Sang Guru TEKNOLOGI MODERN
Suatu hari ketika pembicaraan beralih ke teknologi modern,
Sang Guru menceritakan tentang temannya. Temannya itu ingin
mengembangkan cita rasa musik dalam diri anak-anaknya, maka
ia membelikan sebuah piano untuk mereka.

Ketika sampai di rumah, anak-anaknya mengamati piano itu

dengan penuh kebingungan. “Bagaimana menyambungkannya ke
arus listrik?” kata mereka.

TAWAR-MENAWAR HIDUP
Ketika masih muda, Sang Guru banyak melakukan perjalanan
keliling dunia. Ketika berada di pelabuhan Shanghai, Cina,
ia mendengar ribut-ribut di samping kapalnya. Ketika ia
melihat ke luar, dilihatnya seorang pria di atas sebuah
sampan sedang membungkuk sambil mencengkeram kucir seorang pria lain yang menggelepar-gelepar di dalam air.

Pria dalam sampan itu berulang kali membenamkan pria yang
lain ke dalam air, kemudian menaikkannya lagi. Kedua orang
itu berdebat seru sejenak sebelum “acara penenggelaman” itu
berlangsung lagi.Sang Guru memanggil awak kapal dan bertanya apa yang mereka pertengkarkan. Anak muda itu mendengarkan beberapa saat,

lalu tertawa dan berkata, “Tidak ada apa-apa, Pak. Pria
dalam sampan itu menginginkan 60 yuan untuk tidak
menenggelamkan pria yang lain. Pria dalam air mengatakan,
‘Tidak, 40 yuan saja.'”

Setelah para murid tertawa karena cerita itu, Sang Guru
berkata, “Adakah di antara kamu yang tidak melakukan
tawar-menawar atas satu-satunya Kehidupan yang ada?”

Semuanya diam.

PERMAINAN
Suatu ketika Sang Guru menunjuk pada suatu pengertian Hindu
bahwa semua penciptaan merupakan “leela,” yakni permainan
Allah, dan alam semesta merupakan lapangan bermain-Nya.
Tujuan spiritualitas, kata Sang Guru, adalah menjadikan
seluruh kehidupan sebagai permainan.

Pernyataan itu berkesan terlalu naif bagi seorang tamu
puritan. “Lalu tidak adakah artinya bekerja?”

“Tentu saja ada. Tetapi pekerjaan menjadi spiritual hanya
ketika diubah menjadi permainan.”

PERBUATAN TANPA PAMRIH
Beberapa orang bertanya kepada Sang Guru, apa yang dia
maksudkan sebagai “perbuatan tanpa pamrih.” Ia menjawab,
“Perbuatan yang dicintai dan dilakukan demi perbuatan itu
sendiri, tidak demi pengakuan atau keuntungan atau hasil.”

Kemudian ia menceritakan tentang seseorang yang disewa oleh
seorang peneliti. Orang itu dibawa ke halaman belakang dan
diberi sebuah kapak.

“Apakah kamu melihat batang pohon yang terletak di sana itu?
Saya ingin agar kamu memotongnya. Syaratnya, kamu hanya
boleh menggunakan bagian punggung dari kapak itu, bukan
bagian yang tajam. Kamu akan mendapatkan 100 dolar per jam
untuk itu.”

Orang itu berpikir bahwa peneliti itu sinting, namun upahnya
menggiurkan, maka mulailah ia bekerja.

Dua jam kemudian ia datang dan berkata, “Pak, saya berhenti
saja.”

“Ada apa? Bukankah kamu suka bayaran yang akan kamu peroleh?
Saya akan melipatgandakan upahmu!”

“Tidak, terima kasih,” kata orang itu. “Bayarannya baik.
Tetapi kalau saya memotong kayu, saya harus melihat
kepingan-kepingan kayu beterbangan.”

PENDIDIKAN ANAK
Bagi sepasang suami-istri yang cemas mengenai pendidikan
anak-anak mereka, Sang Guru mengutip pepatah seorang guru
Yahudi

“Jangan membatasi anak-anakmu pada pengetahuanmu sendiri
karena mereka lahir pada zaman yang berbeda.”

KEPUASAN DAN PENDERITAAN
“Mengapa orang tidak bahagia? Karena mereka mendapatkan
kepuasan yang janggal dari penderitaan mereka,” kata Sang
Guru.

Ia menceritakan bagaimana ketika suatu kali ia berada di
tempat tidur bagian atas di sebuah kereta api, pada suatu
malam. Ia tidak bisa tidur, karena dari tempat tidur bawah
seorang wanita terus-menerus mengeluh, “Oh, betapa hausnya
saya … Aduh, betapa hausnya saya.”

Terus-menerus suara keluhan itu terdengar. Akhirnya, Sang
Guru turun ke bawah, berjalan melalui gang sepanjang kereta
api, mengisi dua cangkir besar dengan air, membawanya dan
memberikannya kepada wanita malang itu.

“Bu, ini ada air.”

“Oh, baik sekali Anda. Terima kasih.”

Sang Guru kembali ketempat tidur. Ia menyamankan badannya
dan ketika hampir pulas dari bawah terdengar lagi suara
keluhan, “Oh, betapa hausnya saya tadi… Aduh, betapa
hausnya tadi.”

BETAPA LEBIH BAIK …
Seorang pekerja sosial mencurahkan beban hatinya kepada Sang
Guru. Betapa akan lebih banyak dan lebih baik yang dapat
dilakukannya bagi kaum miskin, seandainya saja ia tidak
harus menghabiskan begitu banyak waktu dan tenaga untuk
melindungi diri dan karyanya terhadap fitnah dan salah
paham.

Sang Guru mendengarkan penuh perhatian. Ia menjawab dengan
satu kalimat. “Tidak seorang pun melemparkan batu pada pohon
yang tak berbuah.”

TINDAKAN TANPA PAMRIH
Sang Guru ditanyai, “Dapatkah tindakan mengantar orang
kepada Pencerahan?”

“Hanya tindakanlah yang mengantar kepada Pencerahan,”
jawabnya, “tetapi mestinya tindakan tanpa pamrih, yang
dilakukan demi tindakan itu sendiri.”

Suatu ketika Sang Guru duduk dengan anak seorang bintang
sepak bola. Ayahnya sedang latihan. Ketika sang ayah
menembakkan bola dan masuk gawang, setiap orang
bersorak-sorai. Anak itu tidak terkesan. Ia hanya duduk saja
dan kelihatan jenuh.

“Ada apa dengan kamu?” kata Sang Guru. “Apakah kamu barusan
tidak melihat ayahmu menciptakan gol itu?”

“Ya, Ayah memang jitu melakukannya pada hari Selasa ini.
Tetapi pertandingannya baru pada hari Jumat. Waktu itulah
gol benar-benar dibutuhkan.”

Sang Guru menyimpulkan, “Tindakan-tindakan dianggap bernilai
jika menolong kamu mencapai tujuan-tujuan, bukan demi
tindakan itu sendiri. Sayang sekali!”

DEVOSI
Sang Guru tidak melakukan praktek devosi.

Ketika ditanya soal itu, ia berkata:

“Sebuah lampu kehilangan sinarnya jika berada di samping
matahari; bahkan candi yang paling tinggi pun kelihatan
begitu kecil di kaki Gunung Himalaya.”

TEMPAT IBADAH
“Sang imam mengatakan kepada saya bahwa rumah ibadah itu
merupakan satu-satunya tempat bagi saya untuk beribadah Apa
pendapatmu?”

“Imam itu bukan orang yang tepat untuk dimintai pendapat
mengenai hal ini,” kata Sang Guru.

“Tetapi, bukankah ia ahlinya?”

Sang Guru menceritakan pengalamannya ketika ia berada di
luar negeri. Pada waktu itu ia menyimak dua buku panduan
bagi wisatawan. Pemandu wisata yang menemaninya mengerutkan
dahi dan, sambil menunjuk pada salah satu dari buku itu, ia
berkata, “Buku yang satu ini sangat jelek. Yang itu lebih
baik.”

“Mengapa? Karena buku itu memberi lebih banyak informasi?”

Si pemandu menggelengkan kepala. “Buku itu mengatakan beri
pemandu 5 dolar. Yang ini mengatakan beri pemandu 50 sen.”

HUKUM AGAMA
Kepada seseorang yang selama bertahun-tahun mempelajari
hukum agamanya, Sang Guru berkata, “Cinta merupakan kunci
untuk hidup baik, bukan agama atau hukum.”

Kemudian ia menceritakan ini.

Ada dua siswa sekolah minggu yang bosan dengan pelajaran
agama. Yang satu mengusulkan untuk membolos saja.

“Bolos?… Tetapi ayah kita akan menangkap kita dan memukul
kita.”

“Kita balas memukul!”

“Apa? Memukul ayah? Apa kamu sudah gila? Apakah kamu lupa
bahwa Allah memerintahkan untuk menghormati ayah dan ibu
kita?”

“Benar … Nah, kalau begitu, kamu memukul ayahku dan aku
memukul ayahmu.”

LABEL
Sang Guru berkata bahwa tidak ada artinya menyatakan diri
sebagai orang India, Cina, Afrika, Amerika, Hindu, Kristen,
atau Muslim karena semuanya ini hanyalah label.

Kepada seorang murid yang mengklaim dirinya seorang Yahudi
tulen, Sang Guru berkata dengan ramah, “Kamu dikondisikan
sebagai orang Yahudi, tapi itu bukan identitas dirimu. “

“Lalu, apa identitasku?”

“Tak sesuatu pun,” kata Sang Guru.

“Maksud Guru, aku adalah kekosongan dan kehampaan belaka?”
kata murid yang tidak percaya itu.

“Tak ada sesuatu pun yang dapat diberi label,” kata Sang
Guru.

YANG TIDAK DAPAT DIUSAHAKAN
Kepada para murid yang secara naif yakin bahwa tak ada
sesuatu pun yang tidak dapat mereka capai jika mereka
menghendakinya dan mengusahakannya, Sang Guru berkata, “Yang
terbaik dalam hidup tidak dapat diusahakan adanya.”

“Kamu dapat berusaha memasukkan makanan ke dalam mulut,
tetapi kamu tidak dapat mengusahakan rasa lapar. Kamu dapat
berusaha telentang di tempat tidur, tetapi kamu tidak dapat
mengusahakan tidur. Kamu dapat berusaha memberikan pujian
kepada seseorang, tetapi kamu tidak dapat mengusahakan rasa
kagum. Kamu dapat berusaha menceritakan rahasia, tetapi kamu
tidak dapat mengusahakan kepercayaan. Kamu dapat berusaha
melakukan tindak pelayanan, tetapi kamu tidak dapat
mengusahakan cinta.”

MENGUBAH ORANG LAIN
“Setiap kali kamu berusaha mengubah orang lain,” kata Sang
Guru, “tanyakan pada dirimu sendiri berikut ini: Apa yang
akan diberikan oleh perubahan itu: kebanggaan, kesenangan,
atau keuntunganku?”

Ia menceritakan kisah ini kepada mereka:

Seorang pria mau melompat dari jembatan. Seorang polisi
bergegas menghampirinya, “Jangan! Jangan!” Sambung si
polisi, “Jangan lakukan itu. Mengapa seorang muda seperti
kamu yang bahkan belum lagi hidup, sampai berpikir untuk
terjun ke dalam air?”

“Karena saya bosan hidup.”

“Nah, dengarkan saya. Jika kamu terjun ke dalam sungai itu,
saya harus terjun juga menyusulmu untuk menyelamatkanmu.
Mengerti? Air itu dingin sekali. Saya baru saja sembuh dari
radang paru-paru. Tahu maksud saya? Saya bisa mati. Saya
mempunyai istri dan empat anak. Apakah kamu mau hidup dengan
beban pikiran seperti ini? Tentu saja tidak. Maka dengarkan
saya. Jadilah orang baik-baik. Bertobatlah dan Allah akan
mengampuni kamu. Pulanglah. Nah, dalam kesendirianmu dan dirumahmu yang sepi itu, gantunglah dirimu. “

KASAR ATAU HALUS
“Mengapa banyak orang tidak mendapat pencerahan?”

“Karena bukan kebenaran yang mereka cari, tetapi apa yang
menyenangkan mereka,” kata Sang Guru.

Ia menunjukkannya dengan cerita tentang seorang Sufi:

Karena butuh uang, seorang pria bermaksud menjual karpet
kasar di jalan. Orang pertama yang ia tawari berkata, “Ini
adalah karpet kasar dan sangat kumal.” Ia pun membelinya
dengan sangat murah.

Semenit kemudian pembeli itu berkata kepada orang lain yang
kebetulan lewat, “Ini karpet halus, sehalus sutra, Pak;
tiada bandingnya.”

Kata seorang Sufi yang menyaksikan kejadian itu, “Pak,
masukkan saya ke dalam kotak sulapmu yang dapat mengubah
karpet kasar menjadi karpet halus, kerikil menjadi batu
berharga.”

Tambah Sang Guru, “Kotak sulap itu tentu saja bernama
kepentingan diri: alat yang paling efektif di dunia untuk
mengubah kebenaran menjadi tipuan.”

POLITIK DAN SPIRITUALITAS
“Saya pikir, spiritualitas itu tidak ada sangkut-pautnya
dengan politik,” kata seorang murid yang terkejut ketika
mengetahui kegiatan-kegiatan politik Sang Guru.

“Itu karena kamu tidak tahu apa-apa tentang spiritualitas,”
jawab Sang Guru.

Pada hari lain, Sang Guru memanggilnya kembali dan berkata,
“Kamu pun tidak tahu apa-apa tentang politik.”

CINTA TANPA PAMRIH
“Adakah cinta tanpa pamrih?” tanya seseorang.

Sang Guru menjawab:

Pak Anu berdiri cemas ketika para malaikat surga memeriksa
catatan hidupnya. Akhirnya, Malaikat Pencatat berkata, “Mana
mungkin?! Belum pernah ada yang seperti ini! Selama hidupmu
kamu belum pernah melakukan dosa ringan apa pun … yang
lebih kecil dari dosa ringan pun tidak. Segala hal yang kamu
lakukan adalah perbuatan kasih dan kebaikan semata. Nah,
dalam kategori mana kami dapat memperbolehkan kamu masuk
surga? Tidak bisa sebagai malaikat, karena kamu bukan
malaikat. Tidak bisa sebagai manusia, karena kamu tidak
punya satu kelemahan. Begini saja, kami akan mengirim kamu
kembali ke bumi selama sehari, sehingga kamu dapat melakukan
sekurang-kurangnya satu dosa. Lalu kembalilah kepada kami
sebagai manusia.” Pak Anu yang tidak berdosa namun malang
itu terdampar di sudut kotanya, sedih dan bingung karena
diharuskan menyimpang sekurang-kurangnya satu langkah kecil
dari jalan hidup yang benar. Satu jam berlalu. Kemudian dua
jam. Lalu tiga jam berlalu. Pak Anu masih termangu tak
berdaya, bingung apa yang harus ia lakukan. Maka ketika
seorang perempuan bertubuh padat memberikan kerdipan
padanya, ia menanggapinya tanpa pikir panjang lagi.
Perempuan itu tidak muda dan tidak cantik, tetapi ia adalah
paspor ke surga. Maka, Pak Anu tidur dengannya malam itu.
Ketika fajar menyingsing, Pak Anu melihat jamnya. Ia harus
cepat-cepat. Setengah jam lagi ia akan dibawa ke surga.
Ketika ia sedang mengenakan pakaiannya, ia mendadak tertegun
karena perempuan tua itu memanggilnya dari tempat tidurnya,
“Oh … sayangku, Pak Anu, betapa baiknya yang telah engkau
lakukan padaku malam ini.”

BUKAN REVOLUSI
Yang dikeluhkan Sang Guru terhadap kebanyakan aktivis sosial
adalah ini: yang mereka perjuangkan adalah pembaruan, bukan
revolusi.

Katanya, “Suatu ketika ada seorang raja yang sangat
bijaksana dan baik hati. Pada suatu ketika ia tahu bahwa ada
sejumlah orang yang tak bersalah ternyata dikurung di dalam
penjara negaranya. Maka, ia memerintahkan supaya dibangun
sebuah penjara lain yang lebih nyaman untuk orang-orang yang
tak bersalah itu.”

PENJELMAAN ALLAH
Ada seorang murid yang sangat memuja Sang Guru, bahkan
memandangnya sebagai penjelmaan Allah.

“Katakan kepada saya, O… Sang Guru,” katanya, “mengapa
Sang Guru datang ke dunia ini?”

“Untuk mengajar orang-orang bodoh seperti kamu, agar tidak
lagi menyia-nyiakan waktu untuk menyembah para Guru,” jawab
Sang Guru.

BULAN DAN JARI
Sang Guru bertekad untuk menghancurkan secara sistematis
setiap doktrin, kepercayaan, dan konsep tentang yang ilahi,
karena hal-hal yang semula dimaksudkan sebagai petunjuk ini
sekarang malah dianggap sebagai penjelasan.

Ia suka mengutip kata-kata bijak dari Timur:

“Bila orang bijak menunjuk bulan, yang dilihat orang bodoh
adalah jari.”

PERDEBATAN
Sang Guru tak mau berdebat dengan siapa pun, karena ia tahu
bahwa yang dicari oleh “pendebat” adalah pembenaran atas
keyakinannya, bukan Kebenaran.

Suatu ketika Sang Guru menunjukkan kepada mereka nilai
sebuah perdebatan:

“Sepotong roti bermentega jatuh. Yang bermentega di sisi
atas atau bawah?”

“Tentu saja, sisi yang bermentega di bagian bawah.”

“Tidak, sisi yang bermentega di atas.”

“Ayo kita uji.”

Sepotong roti diolesi mentega lalu dilempar ke atas. Jatuh.
Sisi yang bermentega berada di atas!

“Saya menang.”

“Hanya karena saya membuat satu kesalahan.”

“Kesalahan apa?”

“Saya mengoleskan mentega pada sisi yang salah.”

AGAMA DAN JARI
“Kepercayaan agama,” kata Sang Guru, “bukanlah pernyataan
akan Realitas, tetapi sebuah petunjuk, yang mengarahkan pada
sesuatu yang tetap merupakan suatu misteri. Misteri itu
melampaui pemahaman akal budi manusia. Pendeknya,
kepercayaan agama hanyalah sebuah jari yang menunjuk pada
bulan.

Beberapa orang beragama tidak pernah beranjak lebih jauh
dari mengamati jari belaka.

Yang lain malah asyik mengisapnya.

Yang lain lagi menggunakan jari untuk mengucek mata. Inilah
orang-orang fanatik yang telah dibutakan oleh agama.

Sangat jarang penganut agama yang cukup mengambil jarak dari
jari mereka untuk dapat melihat apa yang ditunjuk. Mereka
inilah yang, karena melampaui kepercayaan mereka, justru
dianggap sebagai penghujat.”

LAGI-LAGI JARI
Suatu malam Sang Guru membawa murid-muridnya ke alam
terbuka. Langit penuh bintang. Sambil menunjuk ke arah
bintang-bintang, ia melihat ke arah para murid dan berkata,
“Nah, setiap orang pusatkan perhatian pada jari telunjukku.”

Mereka pun menangkap maksudnya.

HAKIKAT MISTIK
Ketika penguasa kerajaan tetangga mengutarakan
maksudnya untuk mengunjungi pertapaan, setiap orang
bergembira. Hanya Sang Gurulah yang biasa-biasa saja.

Sang Raja diantar ke hadapan Sang Guru. Ia menunduk
ramah dan berkata, “Saya percaya bahwa Anda telah
mencapai kesempurnaan mistik. Itu sebabnya saya datang
untuk bertanya tentang hakikat mistik.”

“Mengapa?” tanya Sang Guru.

“Saya ingin mendalami hakikat keberadaan kita sehingga
saya mampu mengendalikan keberadaan saya sendiri dan
rakyat saya, serta membawa bangsa ini ke dalam
keselarasan. “

“Baik,” kata Sang Guru, “tetapi saya harus
memperingatkan Anda bahwa ketika sudah melangkah cukup
jauh, Anda akan menemukan bahwa keselarasan yang Anda
cari itu tidak dicapai melalui pengendalian, melainkan
melalui penyerahan.”

DOSA TERBESAR
Tanya seorang pengkhotbah yang menganggap dirinya
saleh, “Dalam penilaian Anda, apa dosa terbesar di
dunia ini?”

“Menilai orang lain sebagai pendosa,” jawab Sang Guru.

KRISTUS JAWABAN?
Suatu ketika Sang Guru melihat sejumlah besar orang
yang berkumpul di gerbang biara sambil menyanyikan
himne dan memegang poster yang ditulisi: Christ is the
answer ‘Kristuslah jawabannya.’

Ia berjalan dan bertanya pada orang yang tampak muram,
yang memegang poster itu, “Ya, apa sih pertanyaannya?”

Sejenak orang itu kaget, tetapi dengan segera menjawab,
“Kristus bukan jawaban terhadap sebuah pertanyaan,
tetapi jawaban terhadap masalah-masalah kita.”

“Kalau begitu, apa masalahnya?”

Kemudian Sang Guru berkata kepada para murid, “Jika
memang Kristuslah jawabannya, maka inilah yang dimaksud
oleh Kristus: pemahaman yang jernih tentang siapa yang
menciptakan masalah dan bagaimana.”